Sunday, August 30, 2015

Kesalahan Besar Pelatih Dalam Pembinaan Usia Dini



"Kemenangan sejati dari pelatih usia dini bukan ketika mendapatkan sebuah piala atau medali, namun ketika berhasil menjadikan anak-anak yang dilatih menjadi pemain yang berkualitas"


Federasi sepak bola di negara-negara yang berhasil membina pemain mudanya dengan benar pasti memandang serius sistem pengembangan pemain muda di negaranya, mulai dari infrastruktur, metode pelatihan hingga kualitas pelatihnya. Pemikiran inilah yang tentunya mendorong mereka untuk membangun prestasi tim nasional sepak bola  mereka selama bertahun-tahun. Keseriusan itu tampak jelas dari bagaimana mereka memfasilitasi akademi sepak bola yang mereka bangun, termasuk penyediaan pelatih yang berdedikasi dan berkompeten dalam bidang sepak bola.

Sekarang, mari kita tengok sepak bola di Negara kita.  Agaknya, pemikiran-pemikiran sebagaimana telah diterapkan di negara-negara maju sepak bolanya masih sangat jauh dari benak pengelola sepak bola tanah air. Saya merasa sangat miris bila melihat pelatih usia dini di Indonesia. Banyak kekeliruan yang kerap dilakukan, yang pada akhirnya berdampak pada kurang maksimalnya hasil latihan yang diterima oleh anak-anak didiknya.

Sejauh pengalaman saya berkecimpung dalam pelatihan sepak bola anak usia dini, ada beberapa kesalahan pelatih Indonesia yang sering dilakukan. Kesalahan-kesalahan itu di antaranya:

           1.      Demi prestasi, pelatih “mencuri umur” dalam kompetisi.
Dalam sebuah kompetisi, biasanya terbagi dalam kelompok umur. Liga XXX U8, artinya kompetisi yang ditujukan bagi anak berusia 8 tahun ke bawah. Nah, banyak sekali pelatih memasukkan anak di atas usia 8 tahun karena dari segi ukuran fisik tidak jauh berbeda. Inilah pentingnya profesionalisme pelatih sebuah akademi sepak bola. Walaupun tidak ada tes umur, mereka harus secara professional memasukkan pemain sesuai dengan aturan.
Pencurian umur merupakan sebuah kesalahan yang paling sering terjadi. Mengapa bisa demikian?  Yang pertama, hal ini berkaitan dengan pemahaman pelatih mengenai proses pembinaan yang masih sangat minim. Ambisi pelatih untuk berprestasi secara instan lebih besar dibandingkan target pembinaan itu sendiri. Selain itu, Proses control kompetisi di Indonesia sangat buruk. Apalagi kompetisi kelas amatir. Tak heran, bila pencurian umur dapat dilakukan dengan relative mudah.

           2.      Demi prestasi, banyak pelatih yang ambil pemain cabutan.
Pemain cabutan adalah pemain yang dipilih secara instan untuk ikut kompetisi. Misalnya, pelatih tidak puas dengan performa striker anak didiknya, akhirnya pelatih tersebut mencari pemain lain yang dianggap mampu bermain bagus, hanya untuk ikut kompetisi. Dampaknya, kondisi psikologis anak yang sudah ikut latihan berbulan-bulan akan memburuk.

Ingat, tujuan utama dari pembinaan adalah pembentukan karakter pemain. Coba bayangkan, setelah anak-anak berlatih berbulan-bulan, tiba-tiba pelatih curang. Sebagai pemain, pasti akan drop secara psikologis. Pelajaran tentang kejujuran dan saling menghormati antar pemain pun menghilang. Pelatih sudah tidak menjadi panutan yang baik bagi pemainnya.

           3.      Pelatih usia dini menyamakan metode pelatihannya dengan latihan usia dewasa.
Saya tercengang, ketika seorang rekan saya bercerita, bahwa dia melihat ada latihan anak-anak seperti “latihan militer”. Tentu terbayang dalam benak Anda, bila anak-anak yang  masih sangat kecil dilatih  fisik secara berlebihan. Padahal, mereka belum memiliki kekuatan fisik sebagaimana orang dewasa. Bukan hanya menguras tenaga si anak dan membuatnya lelah. Latihan yang terlalu keras bisa jadi membuat si anak takut, kemudian enggan meneruskan latihan pada hari-hari selanjutnya.

Yang perlu dipahami, setiap kelompok umur memiliki porsi latihan masing-masing. Dalam satu kali latihan misalnya, latihan teknik sekian persen, latihan fisik sekian persen, juga disertakan dengan latihan taktik. Jadi setiap bentuk latihan perlu dilakukan secara berimbang dan saling mengisi satu sama lain.

           4.      Banyak pelatih yang tidak paham konsep dan metode latihan usia dini.
Pelatih tidak memahami cara latihan yang menarik. Kebanyakan mereka mengikuti cara latihan tim dewasa. Padahal anak-anak perlu bentuk latihan yang menyenangkan. Metode latihan bagi anak-anak seharusnya lebih banyak disajikan dalam bentuk permainan.

Pada dasarnya, latihan sepak bola pada anak-anak lebih bertujuan untuk membangun ketertarikan dan kecintaan mereka terhadap sepak bola. Jika kecintaan mereka sudah terbangun sejak dini, maka pengasahan keterampilan berikutnya akan menjadi semakin mudah. Anak-anak akan berlatih dengan motivasi dalam diri mereka sendiri, karena mereka menyukai apa yang mereka lakukan. Bukan sekadar bermain karena ada beban tertentu, tuntutan dari orang tua, atau karena merasa takut pada pelatih.

         5.      Pelatih yang hanya terobsesi terhadap pelatih internasional, padahal tidak  memiliki ilmu pelatihan.
Mengapa bisa terjadi seorang pelatih yang terobsesi pada idolanya seperti itu? Hal ini biasanya terjadi pada pelatih yang hanya ingin mendapatkan popularitas atau pengakuan. Status Coach adalah status yang prestisius untuk sebagian orang. Sayangnya, mereka tidak memahami makna Coach sebenarnya. Mereka hanya ingin terlihat berteriak-teriak di pinggir lapangan, memberikan instruksi, memarahi pemainnya dan lain-lain. Padahal sesungguhnya mereka tidak paham, apakah yang mereka lakukan itu sudah benar atau tidak.

Bagi saya, ini merupakan salah satu kesalahan paling fatal yang dilakukan seorang pelatih. Terjun ke dunia pelatihan bukan untuk membangun sepak bola, melainkan obsesi dan angan-angan pribadi. Dampaknya tentu saja akan menimpa anak-anak didiknya. Jika seorang anak sudah berniat ikut latihan dengan sungguh-sungguh, lantas dilatih oleh pelatih yang hanya memikirkan mimpinya sendiri. Bisa jadi, potensi anak didiknya itu tidak akan berkembang maksimal.




“Di La Masia (akademi FC Barcelona) Kami tidak ditempa untuk menang, namun untuk berkembang.”Demikian jawaban Xavi, gelandang FC Barcelona, saat ditanya mengenai kehebatan timnya. Dari pernyataan Xavi tersebut, hal apa yang dapat Anda simpulkan? Ya, La Masia, akademi sepak bola terbaik di dunia tidak pernah “mencekoki” para pemainnya agar haus dengan kemenangan. Sebaliknya, mereka membina para pemain muda agar terus memiliki semangat untuk belajar dan berkembang. Dalam bidang apapun, orang yang punya semangat belajar akan terus berkembang-lebih dari sekadar pemenang.

Sayangnya, hal ini belum disadari oleh kebanyakan pelatih usia dini di Indonesia. Banyak pelatih yang berfokus pada kemenangan, dibandingkan membina pemain agar dapat mencapai potensi maksimalnya. Pelatih terlalu sibuk membangun prestasi sebagai klub, tanpa menyadari bahwa prestasi sesungguhnya adalah pembentukan pemain secara menyeluruh. Bagaimanapun, prestasi terbesar pelatih usia dini bukanlah sebuah medali atau piala, melainkan prestasi terbesar bagi seorang pelatih usia dini adalah anak-anak itu sendiri. Jadi, seharusnya, focus pelatih usia dini bukanlah pada berapa banyak piala yang didapat, tetapi bagaimana menciptakan pemain-pemain berkualitas secara karakter, teknik, pemahaman taktik dan fisik. 

No comments:

Post a Comment