"Kemenangan sejati dari pelatih usia dini bukan ketika mendapatkan sebuah piala atau medali, namun ketika berhasil menjadikan anak-anak yang dilatih menjadi pemain yang berkualitas"
Federasi sepak bola di negara-negara yang berhasil membina pemain mudanya dengan benar pasti memandang serius sistem pengembangan pemain muda di negaranya, mulai dari infrastruktur, metode pelatihan hingga kualitas pelatihnya. Pemikiran inilah yang tentunya mendorong mereka untuk membangun
prestasi tim nasional sepak bola mereka
selama bertahun-tahun. Keseriusan itu tampak jelas dari bagaimana mereka
memfasilitasi akademi sepak bola yang mereka bangun, termasuk penyediaan
pelatih yang berdedikasi dan berkompeten dalam bidang sepak bola.
Sekarang, mari kita tengok sepak bola di Negara kita. Agaknya, pemikiran-pemikiran sebagaimana
telah diterapkan di negara-negara maju sepak bolanya masih sangat jauh dari benak pengelola sepak bola
tanah air. Saya merasa sangat miris bila melihat pelatih usia dini di
Indonesia. Banyak kekeliruan yang kerap dilakukan, yang pada akhirnya berdampak
pada kurang maksimalnya hasil latihan yang diterima oleh anak-anak didiknya.
Sejauh pengalaman saya berkecimpung dalam pelatihan sepak bola anak
usia dini, ada beberapa kesalahan pelatih Indonesia yang sering dilakukan.
Kesalahan-kesalahan itu di antaranya:
1.
Demi prestasi, pelatih “mencuri umur” dalam kompetisi.
Dalam sebuah kompetisi, biasanya terbagi dalam
kelompok umur. Liga XXX U8, artinya kompetisi yang ditujukan bagi anak berusia
8 tahun ke bawah. Nah, banyak sekali pelatih memasukkan anak di atas usia 8
tahun karena dari segi ukuran fisik tidak jauh berbeda. Inilah pentingnya
profesionalisme pelatih sebuah akademi sepak bola. Walaupun tidak ada tes umur,
mereka harus secara professional memasukkan pemain sesuai dengan aturan.
Pencurian umur merupakan sebuah kesalahan yang
paling sering terjadi. Mengapa bisa demikian?
Yang pertama, hal ini berkaitan dengan pemahaman pelatih mengenai proses
pembinaan yang masih sangat minim. Ambisi pelatih untuk berprestasi secara
instan lebih besar dibandingkan target pembinaan itu sendiri. Selain itu,
Proses control kompetisi di Indonesia sangat buruk. Apalagi kompetisi kelas
amatir. Tak heran, bila pencurian umur dapat dilakukan dengan relative mudah.
2.
Demi prestasi, banyak pelatih yang ambil pemain cabutan.
Pemain cabutan adalah pemain yang dipilih
secara instan untuk ikut kompetisi. Misalnya, pelatih tidak puas dengan
performa striker anak didiknya, akhirnya pelatih tersebut mencari pemain lain
yang dianggap mampu bermain bagus, hanya untuk ikut kompetisi. Dampaknya,
kondisi psikologis anak yang sudah ikut latihan berbulan-bulan akan memburuk.
Ingat, tujuan utama dari pembinaan adalah
pembentukan karakter pemain. Coba bayangkan, setelah anak-anak berlatih
berbulan-bulan, tiba-tiba pelatih curang. Sebagai pemain, pasti akan drop secara psikologis. Pelajaran
tentang kejujuran dan saling menghormati antar pemain pun menghilang. Pelatih
sudah tidak menjadi panutan yang baik bagi pemainnya.
3.
Pelatih usia dini menyamakan metode pelatihannya dengan latihan
usia dewasa.
Saya tercengang, ketika seorang rekan saya
bercerita, bahwa dia melihat ada latihan anak-anak seperti “latihan militer”.
Tentu terbayang dalam benak Anda, bila anak-anak yang masih sangat kecil dilatih fisik secara berlebihan. Padahal, mereka belum
memiliki kekuatan fisik sebagaimana orang dewasa. Bukan hanya menguras tenaga
si anak dan membuatnya lelah. Latihan yang terlalu keras bisa jadi membuat si
anak takut, kemudian enggan meneruskan latihan pada hari-hari selanjutnya.
Yang perlu dipahami, setiap kelompok umur
memiliki porsi latihan masing-masing. Dalam satu kali latihan misalnya, latihan
teknik sekian persen, latihan fisik sekian persen, juga disertakan dengan
latihan taktik. Jadi setiap bentuk latihan perlu dilakukan secara berimbang dan
saling mengisi satu sama lain.
4.
Banyak pelatih yang tidak paham konsep dan metode latihan usia
dini.
Pelatih tidak memahami cara latihan yang
menarik. Kebanyakan mereka mengikuti cara latihan tim dewasa. Padahal anak-anak
perlu bentuk latihan yang menyenangkan. Metode latihan bagi anak-anak
seharusnya lebih banyak disajikan dalam bentuk permainan.
Pada dasarnya, latihan sepak bola pada
anak-anak lebih bertujuan untuk membangun ketertarikan dan kecintaan mereka
terhadap sepak bola. Jika kecintaan mereka sudah terbangun sejak dini, maka
pengasahan keterampilan berikutnya akan menjadi semakin mudah. Anak-anak akan
berlatih dengan motivasi dalam diri mereka sendiri, karena mereka menyukai apa
yang mereka lakukan. Bukan sekadar bermain karena ada beban tertentu, tuntutan
dari orang tua, atau karena merasa takut pada pelatih.
5.
Pelatih yang hanya terobsesi terhadap pelatih internasional,
padahal tidak memiliki ilmu pelatihan.
Mengapa bisa terjadi seorang pelatih yang
terobsesi pada idolanya seperti itu? Hal ini biasanya terjadi pada pelatih yang
hanya ingin mendapatkan popularitas atau pengakuan. Status Coach adalah status yang prestisius untuk sebagian orang.
Sayangnya, mereka tidak memahami makna Coach
sebenarnya. Mereka hanya ingin terlihat berteriak-teriak di pinggir lapangan,
memberikan instruksi, memarahi pemainnya dan lain-lain. Padahal sesungguhnya
mereka tidak paham, apakah yang mereka lakukan itu sudah benar atau tidak.
Bagi saya, ini merupakan salah satu kesalahan
paling fatal yang dilakukan seorang pelatih. Terjun ke dunia pelatihan bukan
untuk membangun sepak bola, melainkan obsesi dan angan-angan pribadi. Dampaknya
tentu saja akan menimpa anak-anak didiknya. Jika seorang anak sudah berniat
ikut latihan dengan sungguh-sungguh, lantas dilatih oleh pelatih yang hanya
memikirkan mimpinya sendiri. Bisa jadi, potensi anak didiknya itu tidak akan
berkembang maksimal.
“Di La Masia (akademi FC Barcelona) Kami tidak ditempa untuk
menang, namun untuk berkembang.”Demikian jawaban Xavi, gelandang FC Barcelona,
saat ditanya mengenai kehebatan timnya. Dari pernyataan Xavi tersebut, hal apa
yang dapat Anda simpulkan? Ya, La Masia, akademi sepak bola terbaik di dunia
tidak pernah “mencekoki” para pemainnya agar haus dengan kemenangan.
Sebaliknya, mereka membina para pemain muda agar terus memiliki semangat untuk
belajar dan berkembang. Dalam bidang apapun, orang yang punya semangat belajar
akan terus berkembang-lebih dari sekadar pemenang.
Sayangnya, hal ini belum disadari oleh kebanyakan pelatih usia dini
di Indonesia. Banyak pelatih yang berfokus pada kemenangan, dibandingkan
membina pemain agar dapat mencapai potensi maksimalnya. Pelatih terlalu sibuk
membangun prestasi sebagai klub, tanpa menyadari bahwa prestasi sesungguhnya
adalah pembentukan pemain secara menyeluruh. Bagaimanapun, prestasi terbesar
pelatih usia dini bukanlah sebuah medali atau piala, melainkan prestasi
terbesar bagi seorang pelatih usia dini adalah anak-anak itu sendiri. Jadi,
seharusnya, focus pelatih usia dini bukanlah pada berapa banyak piala yang
didapat, tetapi bagaimana menciptakan pemain-pemain berkualitas secara
karakter, teknik, pemahaman taktik dan fisik.